Rabu, 13 April 2016

Dermaga

 

 

Melihat betapa romantisnya adegan film drama kadang membuat aku berpikir apakah orang jaman dulu juga romantis. Mengingat waktu jaman kakek nenek kita muda pasti hal itu mustahil, aku yakin mereka polos dan lugu. Berani bertatap mata saja tidak, apalagi ciuman dan mengeluarkan rayuan gombal.

Di film terlalu banyak kata puitis beterbangan dari mulut pemeran pria, sampai-sampai aku iri padanya yang sanggup berkata manis. Remot tv yang jadi saksi. Yah, tapi berhubung hari sudah sore lebih baik ku bereskan kamar, maklum masih bujangan.

Kamarku di lantai dua, hanya ada tangga spiral yang menjadi akses untuk naik. Tangga itu seolah menjadi lambang atas rasa penasaranku tadi. Apa memang orang jaman dulu tidak romantis..? Atau mereka lebih jujur tentang romantisme..?

Sial..!! Aku lupa mengambil kunci pipa di gudang bawah, baru ingat kalau kran kamar mandi sedang macet. Mungkin ayah biasa menyimpannya di laci meja reot yang dulu sering aku gunakan untuk bermain waktu kecil. Selalu memanjatnya, tapi belum pernah sekalipun membuka lacinya.

Entah apa yang ku lihat, hanya ada tumpukan kertas usang dan bau. Sepertinya sudah bertahun-tahun ada disitu, atau mungkin puluhan tahun. Ada semacam amplop berwarna putih. Apa isinya ya..? Agar tak tambah penasaran mending ku buka saja. Isinya ternyata surat :





Tegal, 20 Mei 1946


"Teruntuk Wati Kasihku,

Hari ini aku menyambangi perbatasan Jawa Timur setelah kemarin bertempur di Surabaya. Aku tidak terluka sedikitpun, kau tak perlu khawatir, Wati. Hanya saja banyak temanku yang gugur membela negara kita. Mungkin kau tak ingin mendengar tentang peperangan apapun, karena kau begitu lembut dan ramah pada siapapun. Bahkan pada keturunan Belanda yang ada di depan rumah saja tak dendam, karena kau pasti mengerti bahwa mereka tak terlibat konflik.

Ingatkah saat terakhir kita berpisah, saat kau beri selendang sutra merah padaku..? Aku selalu ingat waktu itu kita ada di dermaga, di tempat kali pertama kita bertemu. Aku lihat air matamu tumpah di pipi bak mutiara yang keluar dari mata sang dewi. Begitu memilukan saat menyadari kita harus berpisah sementara karena panggilan tugas dan kewajiban. Tak terbayang sebuah cinta dibatasi oleh senjata dan kehormatan negeri ini. Tentu aku mencintai negeri ini pula, sama halnya cinta yang selalu ku pupuk saat menatap matamu, dan menghirup wangi nafasmu.

Dulu sempat terlontarkan janji dari bibir ini, aku pasti pulang dengan selamat. Lalu selendang itu tak akan terlepas meski maut yang ku hadapi. Sampai perangpun tiba, selendang itu selalu ku genggam walau suara bising peluru ada di mana-mana. Tak akan ku lepas karena itu adalah hal yang membuat semangat hidupku menyala seperti api yang terkena angin. Bukankah aku juga berjanji untuk menemuimu di dermaga nanti..?

Kini aku menggenapi janji itu. Nantikan kepulanganku, Wati.."


Yang selalu mencintaimu,

Prakoso



Aku rasa aku telah salah menilai. Mereka tak lugu atau masih hijau, tapi mereka lebih mengerti. Lebih mengerti bahwa cinta tak lepas dari pengorbanan tanpa perlu menjadi korban atau mengorbankan orang lain.

Mungkin ayah menyimpan kuci pipa di tempat lain. Aku ingin cepat-cepat mandi saja, lagipula pertanyaanku telah terjawab..