Melihat betapa romantisnya adegan film drama kadang membuat aku berpikir
apakah orang jaman dulu juga romantis. Mengingat waktu jaman kakek
nenek kita muda pasti hal itu mustahil, aku yakin mereka polos dan lugu.
Berani bertatap mata saja tidak, apalagi ciuman dan mengeluarkan rayuan
gombal.
Di film terlalu banyak kata puitis beterbangan dari
mulut pemeran pria, sampai-sampai aku iri padanya yang sanggup berkata
manis. Remot tv yang jadi saksi. Yah, tapi berhubung hari sudah sore
lebih baik ku bereskan kamar, maklum masih bujangan.
Kamarku di
lantai dua, hanya ada tangga spiral yang menjadi akses untuk naik.
Tangga itu seolah menjadi lambang atas rasa penasaranku tadi. Apa memang
orang jaman dulu tidak romantis..? Atau mereka lebih jujur tentang
romantisme..?
Sial..!! Aku lupa mengambil kunci pipa di gudang
bawah, baru ingat kalau kran kamar mandi sedang macet. Mungkin ayah
biasa menyimpannya di laci meja reot yang dulu sering aku gunakan untuk
bermain waktu kecil. Selalu memanjatnya, tapi belum pernah sekalipun
membuka lacinya.
Entah apa yang ku lihat, hanya ada tumpukan
kertas usang dan bau. Sepertinya sudah bertahun-tahun ada disitu, atau
mungkin puluhan tahun. Ada semacam amplop berwarna putih. Apa isinya
ya..? Agar tak tambah penasaran mending ku buka saja. Isinya ternyata
surat :
Tegal, 20 Mei 1946
"Teruntuk Wati Kasihku,
Hari ini aku menyambangi perbatasan Jawa Timur setelah kemarin bertempur
di Surabaya. Aku tidak terluka sedikitpun, kau tak perlu khawatir,
Wati. Hanya saja banyak temanku yang gugur membela negara kita. Mungkin
kau tak ingin mendengar tentang peperangan apapun, karena kau begitu
lembut dan ramah pada siapapun. Bahkan pada keturunan Belanda yang ada
di depan rumah saja tak dendam, karena kau pasti mengerti bahwa mereka
tak terlibat konflik.
Ingatkah saat terakhir kita berpisah, saat
kau beri selendang sutra merah padaku..? Aku selalu ingat waktu itu kita
ada di dermaga, di tempat kali pertama kita bertemu. Aku lihat air
matamu tumpah di pipi bak mutiara yang keluar dari mata sang dewi.
Begitu memilukan saat menyadari kita harus berpisah sementara karena
panggilan tugas dan kewajiban. Tak terbayang sebuah cinta dibatasi oleh
senjata dan kehormatan negeri ini. Tentu aku mencintai negeri ini pula,
sama halnya cinta yang selalu ku pupuk saat menatap matamu, dan
menghirup wangi nafasmu.
Dulu sempat terlontarkan janji dari
bibir ini, aku pasti pulang dengan selamat. Lalu selendang itu tak akan
terlepas meski maut yang ku hadapi. Sampai perangpun tiba, selendang itu
selalu ku genggam walau suara bising peluru ada di mana-mana. Tak akan
ku lepas karena itu adalah hal yang membuat semangat hidupku menyala
seperti api yang terkena angin. Bukankah aku juga berjanji untuk
menemuimu di dermaga nanti..?
Kini aku menggenapi janji itu. Nantikan kepulanganku, Wati.."
Yang selalu mencintaimu,
Prakoso
Aku rasa aku telah salah menilai. Mereka tak lugu atau masih hijau, tapi
mereka lebih mengerti. Lebih mengerti bahwa cinta tak lepas dari
pengorbanan tanpa perlu menjadi korban atau mengorbankan orang lain.
Mungkin ayah menyimpan kuci pipa di tempat lain. Aku ingin cepat-cepat mandi saja, lagipula pertanyaanku telah terjawab..